21 April 1959 – 10 November 2013
Ibu.
Begitulah aku memanggil wanita itu. Dia lahir pada Hari Kartini, sehingga
namanya dimirip-miripkan dengan nama pahlawan wanita itu. SUPRI HARTINI. Hidup
dari keluarga yang serba terbatas tidak membuat wanita ini berputus asa dalam
mengejar cita dan asa. Meskipun iya sudah ditinggal mati oleh Bapaknya sejak
iya berumur 7 tahun, ia tumbuh menjadi seorang perempuan yang tangguh dalam menjalani
lika-liku kehidupannya. Inilah sebuah cerita yang akan aku bagi kepada kalian
semua.
Cerita
ini aku dapat langsung dari mulut wanita itu semasa dia masih sangat dekat di
sisiku. Ibu lahir di Magelang sebagai anak ke-5 dari 8 bersaudara, dia
merupakan anak seorang TNI AD dan seorang ibu rumah tangga biasa. Bapaknya atau
Embah Kakungku meninggal saat ibu masih berusia 7 tahun, usia yang tergolong
sangat dini untuk menerima kenyataan pahit dari sebuah skenario kehidupan.
Semenjak itu, kehidupan ekonomi keluarga hanya bergantung pada hasil sawah
milik keluarga dan uang pensiunan bapaknya.
Ibu yang
memiliki semangat menuntut ilmu yang tinggi, pernah dipaksa rela menunggu satu
tahun untuk dapat bersekolah kembali. Dan saat ada kesempatan untuk bersekolah,
ia juga tidak punya pilihan lain. Bersekolah di SMP Muhammadiyah atau tidak
sekolah sama sekali. Selepas SMP dia ingin sekali melanjutkan ke sekolah
keperawatan tapi lagi-lagi karena ekonomi yang tidak mendukung, keluarga
akhirnya meminta ia bersekolah di PGSD dengan biaya yang lebih terjangkau.
Meski tidak sesuai dengan keinginannya, ia tetap menuntut ilmu dengan semangat.
Ibu tetap bertahan meski tidak jarang ia iri terhadap teman-temannya yang bisa
mendapat pendidikan terbaik, dengan seragam bagus dan kinclong yang tidak
pernah ia miliki.
Mungkin
karena kesabarannya akhirnya Allah menjadikan ia sebagai manusia yang
beruntung. Ibu lulus dan tidak lama ia berhasil menjadi seorang Pegawai Negeri
Sipil, seorang Guru dimana itu merupakan salah satu profesi yang mulia
menurutku. Inilah mantra yang aku peroleh dari membaca novel trilogi Negeri 5
Menara untuk menggambarkan apa yang terjadi pada nasib ibuku
“Man jadda wajada” (Siapa yang
bersungguh-sungguh akan berhasil)
“Man shabara zhafira” (Siapa yang
bersabar akan beruntung)
Tahun
1982 dia menikah dengan laki-laki yang sekarang aku panggil bapak, dan setaun
kemudian mereka memperoleh seorang anak perempuan yang diberi nama Imroatul
Falah yang bukan lain adalah kakak pertamaku. Awal-awal dalam menjalalani
kehidupan sendiri terasa berat bagi keluarga bapak ibuku, karena mereka pun
awalnya hidup dengan segala keterbatasan yang ada. Mereka meniti tangga demi
tangga untuk mencukupi kebutuhan mereka dan anak-anak. Tahun 1986 lahirlah
kakak keduaku, Nurul Hidayah. Masih dalam kondisi ekonomi yang sulit mereka
hanya hidup serba pas-pasan. Tidak banyak mainan untuk anak-anak mereka,
makanpun tidak pernah yang bermewah-mewah. Tahun 1992 lahirlah Muhammad Iqbal
Fahmi, kakak ketigaku. Sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga bukan
berarti ia paling istimewa, semua sama. Tidak ada perbedaan, tidak ada anak
emas dan perak. Dan terakhir pada tahun 1996 lahirlah aku sebagai anak paling
bontot.
Dengan
perjuangan-perjuangannya terhadap keluarga, ibu mendapatkan tempat yang
istimewa dihati kami masing-masing. Tidak jarang kami menorehkan luka pada hati
ibu. Betapa durhakanya aku yang tidak jarang mengecewakan ibu atas
sikap-sikapku kepadanya, padahal dia selalu ikhlas dalam merawatku,
membesarkanku, dan mendidikku selama ini.
Sampai
pada hari kelabu itu datang. Sebelas hari sudah ibu terbaring lemah di rumah
sakit. Penyakit Tumor Recto Sigmoid ini sudah berkembang pesat pada organ dalam
ibuku. Tanpa kami ketahui penyebab pastinya, tapi inilah yang menjadi akhir
perjalan cerita kehidupan ibu. Minggu, 10 Novermber 2103 menjadi Minggu
termendung bagiku bagi keluargaku. Desahan nafas ibu yang semakin pendek,
denyut jantung dan nadi yang semakin lemah menanndakan sudah saatnya waktu itu
datang. Waktu yang tidak seorangpun menginginkannya. Sudah waktunya...
Kami
mengiringi kepergian ibu dengan bacaan Syahadat dan bacaan Al-Quran. Begitu
menyayat hati melihat detik demi detik waktu itu merenggut separuh jiwa kami.
Tapi aku sendiri merasa lega dengan semua yang terjadi hari itu, dengan
perginya ibu menghadap Sang Pencipta maka lepas sudah semua kesakitannya menanggung
rasa sakit karena penyakit itu. Dan aku melihat betapa indahya kepergian ibu.
Pulang dalam keadaan Islam dan disampingnya selalu ada kami, keluarganya. Insha
Allah aku ikhlas melepas semuanya. Di akhir perjalanan hidupnya kami mengecup
kening ibu untuk terakhir kalinya.
Selamat
tinggal ibu, selamat jalan, hiduplah yang tenang di keabadian.
Oh bunda, ada dan tiada dirimu
kan selalu ada di dalam hatiku
Terlepas
dari tanggal kelahiranmu di Hari Kartini seorang Pahlawan Wanita (21 April) dan
dari tanggal kepergianmu di Hari Pahlawan (10 November). Engkau adalah pahlawan
hidupku, pahlawan jiwaku. Engkaulah penerang di saat gelap, kau penyegar di
saat aku layu, dan penghangat di saat dingin menusuk tulang. Wahai ibu, jika
waktu dapat terulang aku ingin bersujud di pangkuanmu, memeluk erat tubuhmu,
membasuh segala kesedihanmu. Maafkan aku yang belum sempat memberikan apa-apa
untuk kebahagiaanmu. Maafkan aku bu.. Maaf..
Komentar